
RSBI diatur dalam pasal 50 ayat 3 Nomor 20 Undang-undang tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.” Namun, menurut beberapa kalangan, UU ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena pada dasarnya pendidikan nasional harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia juga bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ada kalangan yang menilai RSBI/SBI belum mampu menjalankan tujuan tersebut. Keberadaan sekolah tersebut nyatanya tidak memberi perubahan.
Diskriminasi
Adanya RSBI/SBI memang menjadi sebuah dilema. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan nasional, malah menimbulkan kastanisasi pendidikan. Keleluasaan sekolah untuk melakukan pungutan dengan tujuan peningkatan sarana prasarana sebagai penunjang peningkatan kualitas justru menjadi bumerang. Dengan alasan tersebut, biaya untuk bersekolah di RSBI/SBI hanya terjangkau bagi kalangan berduit, bukan lagi menjadi milik peserta didik yang berprestasi. Pemerintah pun melegalkan hal ini.
Hal ini tentu mengakibatkan sekolah RSBI hanya “dihuni” anak-anak dari keluarga kaya walau prestasinya biasa. Anak-anak dari golongan miskin tentu akan kesulitan sekolah di RSBI dengan alasan biayanya mahal. Padahal, tak jarang peserta didik dari keluarga miskin jauh lebih pintar dari keluarga kaya. Meskipun ada kuota bagi si miskin untuk bersekolah di RSBI yaitu melalui beasiswa, sebanyak 20% belum tentu terpenuhi. Hal itu juga hanya memberi kesempatan bagi masyarakat miskin yang berprestasi. Pemberian beasiswa itu hanya dijadikan alibi bagi mereka untuk menggugurkan kewajiban.
Meskipun ada beberapa siswa miskin berprestasi yang bersekolah di RSBI, hal ini juga akan menciutkan nyali anak tersebut. Bukan tidak mungkin dia kurang percaya diri. Si anak merasa minder bergaul dengan teman yang notabene dari kalangan orang kaya. Hal ini akan menjadi beban siswa tersebut, sehingga konsentrasi belajar terganggu dan prestasinya menurun.
Pembubaran RSBI tentu membawa angin segar bagi orangtua menengah ke bawah. Kekhawatiran mereka mungkin akan berkurang. Mereka tetap dapat menyekolahkan anak mereka di sekolah yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau.
Menghilangkan Budaya
Selain itu, pelaksanaan RSBI yang berkiblat pada kurikulum sekolah di negara maju justru akan mengurangi kecintaan pada negeri sendiri. Dengan meniru pendidikan ala negara maju diharapkan akan mencapai keberhasilan yang sama. Keinginan tersebut baru benar-benar bisa tercapai jika pemerintah membuat model sekolah yang unggul. Sekolah unggul adalah sekolah yang mampu mengemban amanah UUD 1945.
Penggunaan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar juga dirasakan mematikan kebudayaan lokal. Sementara untuk Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua. Apalagi bagi bahasa daerah. Ada beberapa sekolah yang telah menghilangkan bahasa nenek moyang sendiri yaitu bahasa daerah.
Mungkin benar, dengan berkaca pada negara yang lebih maju akan memunculkan motivasi untuk menyusul mereka. Namun, tentu akan mempertaruhkan budaya bangsa Indonesia. Hal ini akan membuat peserta didik kehilangan moral dan kecintaannya terhadap kultur dan ideologi bangsa. Padahal kearifan lokal harus tetap dijaga dan ditanamkan sejak dini bagi anak-anak agar kecintaannya pada bangsa sendiri tidak luntur. Jika semua peserta telah kehilangan rasa bangga dan memiliki Tanah Air, tentu akan menjadi petaka bagi bangsa.
Dampak
Namun, perlu dipahami, pemerintah juga harus memikirkan imbas dari putusan ini. Bagaimana dengan nasib peserta didik yang bersekolah di RSBI. Bahwa dengan pembubaran, kebanggaan peserta didik akan hilang. Bisa jadi hal ini dapat mengurangi motivasi peserta didik dalam belajar. Pasalnya, rasa bangga itu dapat menambah motivasi yang dapat meningkatkan prestasi.
Yang terpenting, pergantian “wajah” RSBI menjadi sekolah reguler tidak menimbulkan polemik baru. Karena dengan keputusan ini, masalah pendanaan dari pemerintah pasti akan berkurang. Jangan sampai masih ada pungutan-pungutan bagi orangtua dengan dalih peningkatan kualitas.
Bagi pihak sekolah eks RSBI/SBI, dengan atau tanpa embel-embel RSBI harus tetap memberikan kualitas pendidikan yang maksimal. Sarana prasarana harus tetap sama saat menjadi RSBI. Dalam melakukan proses pembelajaran harus tetap berkualitas. Tenaga pendidik yang tersedia juga harus kompeten. Peserta didik pun harus tetap memiliki semangat sama seperti waktu masih menjadi RSBI. Pola pembelajaran yang dimainkan juga harus maksimal. Dengan demikian, apa yang menjadi cita-cita pendidikan nasional akan tercapai. Dan menghasilkan generasi berkualitas yang menjadi pemegang masa depan bangsa.
Irma Muflikhah
Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang
Pengelola Surat Kabar Mahasiswa Amanat