Quantcast
Channel: Colleger Radio | Radio Streaming Anak Kampus dan Portal Berita Pendidikan Beasiswa
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1016

Finger Print Solusi Titip Absen Mahasiswa, Ciuss?

$
0
0
Nanda Najih Habibil Afif (Foto: dok. pribadi)Colleger Radio -HIRUK pikuk dunia mahasiswa memang selalu unik untuk diulik, ya, baik fenomena yang berbau positif maupun negatif. Kampus sebagai lembaga penaung kegiatan akademis maupun non-akademis mahasiswa tentu tak henti-hentinya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap aktivitas, efektivitas, dan kreativitas mahasiswa. Namun, lagi dan lagi tak seluruhnya kreativitas yang dilakukan mahasiswa selalu dianggap benar. Di antara “kreativitas” mahasiswa yang cukup memusingkan pihak kampus dan menimbulkan banyak kontroversi mengenai solusinya adalah fenomena “titip absen” atau umum disebut TA.  

Bagi mahasiswa atau siapa pun yang pernah mengenyam bangku kuliah, hampir 100% dapat dipastikan tahu bagaimana persisnya TA itu. TA merupakan “ulah” mahasiswa yang meminta bantuan mahasiswa lain untuk menandatangani daftar absensi sebagai tanda bukti kehadiran dalam suatu perkuliahan. Seberapa pentingkah kehadiran hingga seorang mahasiswa rela, bahkan menyuruh teman sebayanya memplagiasi tanda tangannya? Memang tidak bisa dimungkiri kehadiran adalah salah satu indikator keaktifan selama mengikuti perkuliahan. Kuantitas kehadiran oleh sebagian kampus bahkan mendapat porsi sekian persen untuk menentukan hasil akhir mata kuliah yang dikontrak mahasiswa selama satu semester. Tak kalah kreatifnya hingga mahasiswa pun melatih teman sekelasnya untuk dapat menorehkan tanda tangan persis seperti milik “si pelaku”. Umumnya dengan alasan pertemanan dan kesetiakawanan, mahasiswa yang diminta untuk men-TA-kan pun dengan senang hati melakukannya.
 
Untuk menyelesaikan kasus demikian, pihak kampus memiliki beberapa solusi sebagai pemecah jitu fenomena tersebut. Di antara solusi yang dianggap mutakhir berbasis teknologi adalah mesin finger print, sebuah mesin pengecek kehadiran dengan memanfaatkan sidik jari mahasiswa. Finger printumumnya dipasang di beberapa titik di sebuah fakultas atau dipasang di tiap-tiap kelas yang digunakan untuk kegiatan perkuliahan. Dengan alat ini, pihak kampus memiliki harapan besar atas tuntasnya kasus TA yang semakin marak terjadi.
 
“Bukan mahasiswa kalau tidak kreatif.” Ya, mungkin benar kalimat tersebut pada mahasiswa dalam menyikapi keberadaan finger print. Faktanya, banyak mahasiswa yang terus berkilah mencari ide agar tetap terekam hadir, namun faktanya tidak. Beberapa mahasiswa mengaku mengikuti perkuliahan hanya karena absensi finger print, selebihnya di dalam kelas dia tidak fokus mengikuti perkuliahan. Beberapa mahasiswa hanya sekadar datang ke kampus untuk menempelkan ujung telunjuk mereka. Bila finger print dipasang di dalam kelas dan diaktifkan  selama perkuliahan, beberapa mahasiswa mengikuti perkuliahan untuk sekadar mendapat tanda kehadiran kemudian menyelinap keluar. Hal yang lebih unik adalah mahasiswa yang membuat replika sidik jari mereka dengan pita perekat, kemudian menitipkannya ke teman mereka dan menyuruhnya untuk menempelkannya ke mesin pendeteksi sidik jari, bagi yang beruntung cara ini dapat bekerja. Lebih “canggih” lagi, ada pula yang sampai membuat trik-trik hacker untuk membobol mesin finger print agar selalu tercatat hadir di setiap perkuliahan.
 
Seharusnya bukan demikian solusi tepat masalah TA dalam momok mahasiswa. Sebagai komponen masyarakat yang dianggap dewasa, pengaturan keefektifan pembelajaran mahasiswa tak seharusnya didesain dengan paksaan layaknya anak kecil. Penekanan solusi haruslah pada penumbuhan semangat dan kesadaran mahasiswa untuk mendapat tambahan ilmu selama proses perkuliahan, sehingga timbullah atmosfer “mahasiswa butuh ilmu”.
 
Menyelisik faktor munculnya kasus TA, sebagian besar memang disebabkan oleh kurang tertariknya mahasiswa dengan sistem perkuliahan yang diadakan. Hal ini dapat terjadi dilihat dari sisi penyampaian materi yang dianggap flat, ataupun kurangnya penyampaian urgensi seberapa pentingkah mata kuliah diadakan. Bagaimanapun menganggap dewasa seorang mahasiswa, patutlah seorang dosen tetap memperhatikan seberapa menarik perkuliahan yang disampaikan untuk didengar dan dipahami mahasiswa. Sebagai insan dewasa yang dituntut aktif, hal yang masih kontradiktif adalah mahasiswa masih diperlakukan layaknya anak SD yang terus dijejali ilmu tanpa adanya unsur keterlibatan pembelajaran yang signifikan. Hal lain yang menjadi faktor TA adalah adanya aktivitas lain yang dianggap sebagai suatu kesibukan non-akademis lain, sehingga mahasiswa lebih memilih untuk meninggalkan perkuliahan..
 
Solusi kasus TA seharusnya lebih ditekankan pada proses perkuliahan yang didesain agar mahasiswa “merasa butuh” dengan perkuliahan tersebut, bukan dengan paksaan-paksaan serupa finger print. Beberapa dosen telah menerapkan proses perkuliahan student centre learning sehingga mahasiswa lebih dapat berpikir ekspresif seperti pola pemahaman dan kreasi intuisi yang mereka peroleh. Selama penjelasan kontrak kuliah, dosen juga perlu menyampaikan urgensi adanya mata kuliah tersebut, sehingga mahasiswa paham penerapan ilmu yang sedang dipelajari ke depannya.
 
Jadi, pada intinya hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memantik mahasiswa untuk sadar akan perkuliahan, tertarik dengan pembelajaran, dan merasa butuh dengan ilmu yang disampaikan, bukan menyisihkan budget kampus hanya sekadar membeli mesin finger print yang harganya cukup melambung tinggi.
 
Finger print sebagai solusi TA mahasiswa, Ciuss? Miapah?
 
Nanda Najih Habibil Afif
Mahasiswa Fakultas Teknik Geologi
Universitas Padjadjaran

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1016

Trending Articles