
Nuansa Kota Malang yang identik dengan bahasa Jawa sebagai percakapan sehari-hari, seketika berubah. Sebanyak 90 mahasiswa dari negara-negara ASEAN yang menjadi peserta International Working Camp (Iwoca) serempak berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris.
Acara yang berlangsung selama lima hari itu merupakan besutan Universitas Brawijaya dan International Association of Student in Agricultural and Related Sciences (IAAS). Maka tidak heran ketika pertanian dan pangan menjadi bidang utama yang diangkat dalam perbincangan.
Pada hari pertama, para peserta menyatukan pikiran dalam seminar agrikultur. ''Menariknya, pembicara yang berasal dari Belanda, yakni Aaman Sulchan juga menjelaskan tentang cara pemulihan lahan yang dipakai untuk tambang agar tidak merusak lingkungan,'' ungkap Bakhrul, seperti disitat dari ITS Online, Selasa (6/8/2013).
Usai seminar, semua peserta dibagi menjadi sembilan kelompok. Epri, Bakhrul, dan Rindang pun terpisah dalam kelompok yang berbeda. Tiap kelompok terdiri dari peserta yang berasal dari negara dan universitas yang berbeda. ''Setelah itu kami diajak untuk bercocok tanam kubis, kentang dan beternak di Desa Ngadas,'' imbuh Epri.
Di sana, semua peserta Iwoca tinggal di rumah penduduk selama dua hari. Bahkan, Bakhrul pun harus rela tidur di atas tikar salah satu rumah penduduk desa. ''Untungnya untuk peserta perempuan disediakan kasur semua,'' ujar Rindang.
Kegiatan kompetisi masak pun merupakan cerita tersendiri bagi Rindang. Pasalnya, tiap tim ditantang untuk membuat makanan dari bahan-bahan yang ada di desa tersebut.
"Agak sulit karena cara masak dari tiap negara berbeda-beda. Tapi justru dengan cara itu kami saling belajar tentang kebiasaan memasak dan ciri khas makanan tiap negara yang berbeda," jelasnya
Lain lagi dengan Epri. Perempuan asal Sukoharjo ini mendapati teman satu tim yang sangat peka terhadap kebersihan. Bahkan, rekan tersebut kurang suka memasak di luar ruangan karena dianggap tidak higienis sehingga mereka pun memasak di salah satu rumah penduduk. ''Enggak nyangka kalau akhirnya timku yang menang lomba masak,'' kata Epri.
Hari ketiga para peserta menjumpai suasana yang sedikit berbeda. Di Ranoregulo, mereka mendirikan kemah. Hawa dingin di area di kaki puncak Semeru itu begitu menusuk. Tanpa malu-malu dan gengsi, para mahasiswa dari berbagai negara tersebut akhirnya saling meminjamkan jaket.
Namun hawa dingin tersebut tidak meluluhkan semangat mereka. Keesokan harinya, mereka bersama-sama menuju Bromo untuk menyaksikan sang surya terbit. Pemandangan sepanjang perjalanan sontak membuat para mahasiswa asing itu berdecak kagum.
Epri turut kagum, karena teman-teman barunya itu tak ada yang mengeluh dengan kondisi yang mereka hadapi. ''Banyak hal sebenarnya yang dapat dipelajari dari mahasiswa dari negara lain dalam hal pendidikan, tingkah laku, dan kebiasaan,'' tuturnya.