
Melihat fenomena tersebut, lima mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) melahirkan inovasi berupa Permainan Dakon Aksara Jawa (Perdasawa). Kelima mahasiswa jurusan PGSD itu adalah Arih Afra Inayah, Zidni Khasna Trimaulani, Fatma Khoirunisa, Ika Susianti dan Imam Dwi Upayanto.
Perdawasa menggunakan congklak sebagai media pembelajaran sehingga selain dapat melestarikan permainan tradisonal tersebut, peserta didik dapat belajar tentang aksara Jawa. Layaknya permainan congklak, Perdawasa juga dimainkan oleh dua orang ditemani satu pembimbing.
Perbedaan Perdawasa dengan congklak biasa adalah desain kecik yang terbuat dari fiber yang diberi tulisan aksara Jawa. Tidak hanya itu, mereka juga menyisipkan pertanyaan untuk menyusun huruf pada kecik melalui kartu soal yang disediakan bagi pemain bila selesai memainkan gilirannya.
Dengan demikian, pembelajaran aksara jawa diharapkan dapat dengan mudah diterima oleh siswa tanpa adanya pemaksaan untuk belajar. Metode tersebut biasa dikenal dengan belajar sambil bermain.
Menurut Arih Afra Inayah, aksara Jawa merupakan salah satu kompetensi dasar yang kurang dimengerti. Pasalnya, kebanyakan siswa menganggap aksara Jawa ini sulit untuk dipelajari dari lafal maupun bentuknya.
“Siswa kebanyakan malas dan kurang semangat untuk menghafalkan aksara Jawa dan juga merangkainya menjadi sebuah kata maupun kalimat. Padahal aksara Jawa termasuk dalam kurikulum muatan lokal pembelajaran bahasa Jawa yang dirumuskan dalam kompetensi dasar seperti dongeng, tembang, wayang, permainan tradisional, geguritan, dan aksara Jawa,” ujar Arih, seperti dikutip dari situs UNY, Rabu (7/8/2013).
Zidni Khasna Trimaulani menambahkan, pemilihan congklak (dakon) sebagai media bukan tanpa alasan. Dia menyebut, permainan congklak memiliki banyak manfaat, di antaranya melatih membuat strategi, melatih kesabaran dan ketelitian, pelatihan pengelolaan atau manajemen keuangan, melatih jiwa sportif, jujur, adil, dan membangun keakraban dengan orang lain.
Sementara itu, Fatma Khoirunisa menjelaskan, papan congklak yang digunakan untuk bermain dakon aksara Jawa terdiri dari dua buah lumbung besar dan 14 buah lumbung kecil. Masing-masing lumbung besar merupakan lumbung milik pemain.
"Lumbung besar dalam permainan congklak ini memiliki arti tempat tabungan, yaitu banyaknya kebaikan ataupun amalan bahkan pahala yang diperoleh oleh setiap orang. Sedangkan banyaknya lumbung kecil yang berjumlah 14 menandakan setiap manusia memiliki waktu sebanyak tujuh hari untuk beramal dan memperoleh sebanyak mungkin pahala," urai Fatma.
Selain terdapat dua lumbung besar dan 14 lumbung kecil, lanjutnya, pada papan dakon dilengkapi dengan sebuah lubang persegi panjang yang digunakan sebagai tempat menyimpan aturan permainan, kartu kata, dan pena atau alat tulis. Kecik, kata Fatma, merupakan bagian utama dari permainan tersebut.
“Kecik Perdasawa terbuat dari fiber berjumlah 56 buah, terdiri dari 25 buah kecik bertuliskan aksara jawa carikan, 20 pasangan, dan 11 buah kecik bertuliskan sandhangan. Cara bermainnya, kecik dimasukkan ke dalam lumbung kecil masing-masing sebanyak empat buah yang melambangkan waktu yang dapat dilalui manusia dalam satu hari, yaitu pagi, siang, sore, dan malam," ungkap Fatma.
Pemilihan aksara carikan, pasangan, dan sandhangan ini disesuaikan dengan kompetensi menulis aksara Jawa yang terdapat pada muatan lokal SD. Perdasawa telah diujicoba kepada siswa di SDN 2 Suryodiningratan Yogyakarta dengan alasan SD tersebut merupakan salah satu sekolah yang menjunjung kebudayaan Jawa dibuktikan dengan berbagai prestasinya di berbagai ajang budaya.
“Hasil ujicoba tersebut menunjukkan, tampilan Perdasawa baik dan menarik sehingga dengan media ini siswa lebih mudah memahami aksara Jawa” tutupnya.