Quantcast
Channel: Colleger Radio | Radio Streaming Anak Kampus dan Portal Berita Pendidikan Beasiswa
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1016

Berbagi Kasih dengan Isyarat Tangan

$
0
0
Salah satu acara komunitas tuna rungu. (Foto: Rachmad Faisal/Okezone)Colleger Radio - Tidak semua anak terlahir sempurna, beberapa di antara mereka, ada yang terlahir dengan kekurangan. Salah satu kekurangan tersebut adalah gangguan dalam pendengaran atau tunarungu.

Di Indonesia, setidaknya ada tujuh juta penyandang tunarungu. Sayangnya, keterbatasan kemampuan mereka dalam mendengar membuat proses komunikasi menjadi lebih sulit. Bahasa isyarat dengan tangan pun menjadi salah satu pilihan.

Ketua Perhimpunan Bahasa Isyarat Jakarta Viter Lius mengatakan, bahasa isyarat tidaklah populer. Penggunanya pun terbatas antarpenderita tunarungu. Padahal, bahasa isyarat ini juga dapat dimanfaatkan oleh mereka yang tidak mengalami gangguan pendengaran.

Viter bercerita, pada 2000-an, dia dan teman-temannya tertarik belajar bahasa isyarat. Bahasa isyarat yang dulu dipelajarinya itu pun membuat Viter dan teman-temannya jatuh cinta.

"Bahasa ini visual sekali dan indah. Ada konsep-konsep abstrak yang bisa dijelaskan dengan bahasa tangan. Kami mulai menyukai bahasa ini hingga akhirnya bisa mengenal kawan-kawan tunarungu dan bisa berkomunikasi dengan mereka," ujar Viter kepada Okezone, belum lama ini.

Hingga saat ini, Viter masih terus mempelajari bahasa isyarat mengingat belum adanya struktur tata bahasa yang menyeluruh untuk bahasa isyarat di Tanah Air. Kadang, satu kosa kata bisa berarti berbeda di berbagai kota.

Ketidakpopuleran bahasa isyarat di Indonesia menggerakkan Viter dan kawan-kawannya untuk terus mempelajari bahasa isyarat. Tujuannya, agar bisa mempersatukan mereka yang mengalami gangguan pendengaran dengan yang tidak.

"Kebisutulian seseorang itu bukan penghalang untuk bisa akrab," sambungnya.

Berawal dari belajar bahasa isyarat itulah sebuah komunitas tunarungu lahir, meski tanpa pendiri dan lanching resmi. Anggotanya gabungan dari penderita tunarungu dengan mereka yang tidak memiliki gangguan pendengaran.

Viter bercerita, sekira 60 anggota komunitas tunarungu mengusung misi yang sama, berbagi kepedulian dan kasih kepada para tunarungu yang masih dianggap masyarakat kelas kedua di banyak tempat. Padahal, penyandang tunarungu juga membutuhkan informasi yang bisa membuka pikiran mereka yang tidak mereka dapatkan hanya dengan membaca.

Kepedulian Viter dan komunitasnya juga menyangkut berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari penderita tunarungu. Misalnya, kata Viter, seorang tunarungu bisa saja memiliki anak normal. Kemudian, karena anaknya bisa mendengar, kebingungan pun terjadi dalam hal mendidik anak.

"Mengajari hal-hal dasar seperti bagaimana makan yang benar akan mudah. Tapi bagaimana jika si anak mengalami masalah di sekolah atau menghadapi anak yang menjelang remaja, akil baliqh? Nah, dengan bahasa isyarat inilah seorang tunarungu bisa membekali anaknya dengan berbahai pelajaran," tutur Viter.

Komunitas tunarungu ini juga berusaha merangkul para difabel itu agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang menyimpang, seperti narkoba. Viter dan komunitasnya tidak lelah mengajak para tunarungu untuk menjauhi narkoba dan hal-hal buruk lainnya, tentu saja dengan bekal kemampuan berbahasa isyarat tadi. Dia pun mengaku mendapat kepuasan batin dari keaktifannya dalam komunitas tunarungu meski tidak mendapat untung secara materi.

"Kami mendapati kepuasan meski tidak dibayar, melihat mereka paham apa yang baik apa yang salah," ujar Viter.(Okezone)

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1016

Trending Articles